Berdirinya Pondok Pesantren Darul ‘Ulum bermula dari kedatangan KH.Tamim Irsyad yang berasal dari Bangkalan Madura ke Rejoso. Beliau adalah murid KH. Cholil Bangkalan. Ketika beliau datang ke Jombang. demi memperbaiki keadaan Ekonomi keluarga KH. Tamim yang memiliki Hikmah besar dalam meneruskan tradisi pengajaran yang pernah ia terima, ditemukanlah Desa Rejoso, tempat secara naluriah Keagamaan KH. Tamim yang amat Representatif sebagai lahan perjuangan menegakkan Islam. (http://islam.pusatstudi.com)
Alasan lain dipilihnya Desa Rejoso sebagai lahan perjuangan
menegakkan Islam oleh beliau pondok pesantren yang direncanakan dan
merupakan hutan itu, merupakan wadah yang dihuni masyarakat hitam dan
jauh dari praktik-praktik sehat menurut norma ajaran Islam. Mereka
adalah manusia jahat dalam arti sering melakukan keonaran tanpa
memperhitungkan hak manusia tetangganya. Mereka adalah manusia yang
tidak memperhatikan tata krama pergaulan hidup dalam kebersamaan. Untuk
itulah dua Kyai ini sangat membutuhkan modal yang kuat demi
terlaksananya cita – cita membangun masyarakat yang berbeda sama sekali
dengan bentuk masyarakat yang ada di situ. Modal tersebut memang telah
dimiliki olehnya. (http://islam.pusatstudi.com)
KH. Tamim Irsyad adalah ahli dalam syariat Islam disamping memiliki
ilmu kanuragan kelas tinggi. Demikian pula KH. Cholil merupakan pengamal
ilmu tasawuf disamping memiliki bekal ilmu syariat Islam pada umumnya.
Beliau waktu itu telah dipercaya oleh gurunya untuk mewariskan ilmu
tharekat qodiriyah wan naqsyabandiyah-Nya kepada yang berhak
menerimanya, dengan kata lain beliau berhak sebagai Al-Mursyid (guru
petunjuk dalam dunia tharekat). (http://islam.pusatstudi.com)
Pada periode ini sistem pengajaran ilmu pengetahuan dilaksanakan oleh
beliau dengan sistem ceramah dan praktikum langsung melalui saluran
sarana yang ada pada masyarakat. KH. Tamim Irsyad memberikan pengajian
ilmu Al-Qur’an dan Ilmu Fiqih atau hukum syariat Islam, sedangkan KH.
Cholil memberikan pengajian ilmu tasawuf dalam bentuk pengamalan
thareqat qodiriyah wan naqsyabandiyah disamping tuntunan ilmu tauhid.
Sehingga dengan demikian para murid tidak berat menjalankan syariat
Islam. (http://islam.pusatstudi.com)
Oleh kiai Tamim para murid diberikan syariatnya dan oleh kyai Cholil
dilatih mencintai yang punya syariat Islam. Adapun sarana untuk kegiatan
tersebut ada dua yang masing – masing dibangun tahun 1898 dan tahun
1911, surau itu sendiri sampai sekarang masih terawat baik, dipakai
balai pertemuan dan pengajian. Siswa yang tercatat pada periode ini
antara lain dari daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah, terutama dari
Jombang. Mojokerto, Surabaya serta Madura. Jumlahnya sekitar da ratus
orang (200 siswa) yang tinggal mondok. Potensi alumnus cukup memadai,
sehingga dengannya Darul Ulum pada periode berikutnya berkembang dengan
cukup membanggakan.
Sekitar akhir abad sembilan belas (XIX), ketika pondok pesantren ini
berkembang cukup meyakinkan. didatangkanlah kiai Syafawi adik kyai
Cholil dari Demak Jawa Tengah untuk membantu kelancaran pengajian.
terutama bidang studi Ilmu Tafsir dan Ilmu Alat. Namun sayang, KH.
Syafawi tidak bertahan lama, karena pada tahun 1904M beliau meninggalkan
dunia fana ini. Dua puluh tahun berikutnya (1930) Kyai Haji Tamim
Irsyad menyusul Innalillah Wainna Ilaihirojiuun. Namun. sebelum beliau
wafat telah mengkader putranya yang kedua yaitu KH. Romli Tamim, sebagai
figur Pimpinan Darul Ulum periode kedua. Sepeninggal kedua beliau
diatas, Kyai Cholil tinggal sendiri mengemban amanat kelangsungan hidup
sarana pendidikan yang dibina. Dalam kesendiriannya inilah Kyai Haji
Cholil mengalami Jadzab (menurut istilah Pondok Pesantren), atau
barangkali terserang depresi psychis (menurut istilah Psychologi).
(http://islam.pusatstudi.com)
Setelah Kyai Cholil dapat memecahkan problem pribadinya tersebut
barulah beliau bangkit mengemban amanatnya yang semakin komplek. la
sekarang yang memegang semua bidang studi, yang dulu dipegang
berdua.Tugas-tugas tersebut akhirnya oleh Kiai Cholil dapat
didelegasikan kepada Generasi Penerus tanpa menimbulkan goncangan sosial
berarti yaitu dengan datangnya KH. Romly Tamim putra kedua KH. Tamim
Irsyad atau adik ipar KH.Cholil dari Studi di Pondok Pesantren Tebuireng
pada tahun 1927 M.
KH. Romli Tamim pulang ke Rejoso dibekali oleh gurunya beberapa
santri antara lain yaitu: KH. Akhmad Jufri (Karangkates Kediri) dan KH.
Zaid Buntet (Cirebon). Dengan kata lain Kiai satu ini dapat
menyelesaikan regenerasi dengan mulus tanpa menimbulkan kesenjangan
antar generasi sebelum dengan generasi sesudahnya melalui lantaran
lahirnya KH. Romli sebagai tokoh. Tongkat estafet kepemimpinan tersebut
akhirnya dapat diselesaikan kyai cholil dengan bukti munculnya
tokoh-tokoh baru Pondok Pesantren peninggalan beliau tahun 1937 M.
(wafat 1937M). Tokoh tersebut antara lain Kyai Haji Romli putra Kyai
Haji Tamim Irsyad dan Kyai Haji Dahlan Cholil putra Kyai Haji Cholil.
Dua tokoh inilah yang memimpin perkembangan pondok pesantren ini pada
periode pertengahan.
Pondok pesantren yang telah berdiri bagai batu karang di laut, tetap
tegar walau ombak menghempas datang. Ditengah-tengah gelombang juang
bangsa Indonesia meneriakkan kata merdeka pada saat itulah generasi muda
meledakkan dadanya dalam bentuk koperasi, gerakan politik, maupun
bentuk yang lain. Mereka hanya mempunyai satu tujuan, Indonesia harus
merdeka. Generasi Pondok Pesantren ini pun tidak pernah ketinggalan
meski dalam bentuk gerakan yang lain.
Sepeninggal tokoh-tokoh tua, muncul Kyai Romli Tamim dan Kyai Dahlan
Cholil sebagai tokoh muda yang baru saja menyelesaikan studinya di
Pondok Pesantren Tebuireng Jombang yang diasuh Kyai Haji Hasyim Asy’ari
serta mengembangkan Ilmu Pengetahuan yang diperolehnya dari studi beliau
di Mekkah Saudi Arabia. Kyai Haji Dahlan Cholil pulang ke Rejoso tahun
1932 dan kemudian disusul oleh adiknya yang bernama KH.Ma’sum Cholil.
tahun 1937 merupakan tokoh-tokoh muda yang selalu menyingsingkan lengan
dengan ikut bersama bangsa dalam bentuk mencerdaskan bangsa lewat sarana
pendidikan yang dibinanya. Pada periode inilah Pondok Pesantren ini
menunjukan identitas yang sebenarnya. Hal ini dapat dilihat dari nama
Pondok Pesantren yang diberikan oleh Beliau yaitu DARUL ‘ULUM (Gudang
Ilmu) pada tahun 1933 M.
Tokoh tersebut menekankan bahwa penamaan Darul Ulum buka hanya
sekedar mengambil nama besar Madrasah Darul Ulum yang ada di Makkah
Saudi Arabia yang secara kebetulan beliau juga merupakan tokoh Madrasah
tersebut waktu masih berdomisili di sana. Namun lebih dari itu ingin
mengambil contoh sebagai wadah sarana pendidikan yang mempunyai corak
khas diantara sarana pendidikan yang ada waktu itu. Yaitu untuk mencetak
manusia-manusia muslim yang tahan cuaca. Tidak mudah tergoncang
bergantinya masa dan model. Hati tetap erat merapat disisi Allah walau
bagaimanapun keadaanya. Badan kuat menahan godaan hidup. Inilah baru
Muslim.
Waktu siang maupun pagi siswanya diajak langsung oleh beliau
bertanam, berdagang menanti rezeki. Jika malam mereka bersujud khusu’
menanti hidayat Alloh, dan jika fajar telah datang menyambutnya, mereka
tersenyum cerah berkat telah datang, mereka masih diberi kesempatan
memandang alam.Pendidikan semacam inilah, hasilnya ternyata cukup
mengagumkan dan ini telah dirasakan oleh Pondok Pesantren Darul Ulum.
Pengkajian ilmu pengetahuan pada periode ini semakin mekar di daerah
lain pada umumnya, bukan lagi hanya berliku-liku di daerah ilmu
pengetahuan agama saja. Disamping itu pembagian tugas antara tokoh-tokoh
yang ada semakin jelas. Kyai Romli Tamim memegang kebijakan umum Pondok
Pesantren serta ilmu thasawuf dan thareqat qodiriyah wan naqsyabandiyahnya, KH. Dahlan Cholil memegang kebijakan khusus siasah
(manajemen) dan pengajian syariat plus Al-Qur’an. Sedang Kyai Ma’soem
Cholil mengemban organisasi sekolah dan managementnya. Sementara itu
Kyai Umar Tamim adik Kyai Romli Tamim sebagai pembantu aktif di bidang
kethareqatan. Semua tugas tersebut masing-masing dibantu oleh
santri-santri senior, seperti KH. Ustman Al Isyaqi yang berasal dari
Surabaya dalam praktikum qodiriyah wannaqsyabandiyah.